Senin, 21 Januari 2013

Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain, sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU Bank Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar Reformasi Sektor Keuangan : Memperkuat Fondasi, Daya Saing dan Stabilitas Perekonomian Nasional” yang diselenggarakan oleh Panitia Antar-Departemen Penyusunan RUU OJK, di Jakarta, Kamis 8 Juli 2010. Seminar dibuka oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo dengan menampilkan pembicara Pjs Gubernur BI Darmin Nasution, Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, Wakil Ketua Komisi XI DPR Sohibul Iman, pengamat ekonomi Raden Pardede, dengan moderator Pemimpin Redaksi Investor Daily Primus Dorimulu.

Menkeu Agus Martowardojo menyatakan, pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. ”Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk melakukan reformasi sektor keuangan” kata Menkeu. Agus menjelaskan, OJK mempunyai implikasi sangat signifikan terhadap sistem keuangan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kestabilan perekonomian Indonesia di masa depan. Terjadinya proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks. Selain itu, konglomerasi sektor keuangan menambah interaksi anterlembaga keuangan. Misalnya sebuah grup usaha memiliki usaha mulai perbankan, asuransi, multifinance, sekuritas sampai dana pensiun. Keberadaan hybrid financial instrument yang merupakan percampuran produk-produk perbankan, pasar modal dan asuransi semakin menambah kompleksitas. 
Sehubungan dengan itu perlu penataan kembali struktur pengorganisasian lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan. Menkeu menegaskan, RUU OJK merupakan amanat Pasal 34 UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI) dimana OJK harus terbentuk paling lambat 31 Desember 2010. Menurut Menkeu RUU OJK harus dilihat secara holistik, artinya rangkaian reformasi keuangan harus mencakup pula JPSK serta amandemen beberapa UU antara lain UU perbankan, pasar modal, dana pensiun, asuransi dan BI yang sudah masuk dalam prolegnas tahun ini. Itu sebabnya pembahasan paket RUU keuangan tersebut harus simultan. Terdapat lebih dari 30-40 organisasi sejenis OJK di dunia, memang ada satu yang gagal seperti di Inggris namun demikian yang lain tetap berjalan baik misalnya Kanada, Skandinavia, Jerman.

Anggota DPR Komisi XI Melchias Markus Mekeng menilai pembentukan OJK patut disambut baik. OJK dibentuk agar kegiatan di jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel. Wakil Direktur Utama Bank Danamon Josh Luhukay mengungkapkan, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan OJK. Pertama penerapan UU OJK sebaiknya dilakukan dalam dua tahap, yaitu Bapepam-LK terlebih dahulu dilepaskan dari Departemen Keuangan dan disusul penggabungan dengan Bank Indonesia. 

Kedua, sebuah OJK tanpa otoritas perbankan seperti yang dimiliki sekarang, sehingga OJK perlu menggabungkan seluruh elemen keuangan termasuk otoritas perbankan. Ketiga adalah pentingnya menjalani proses dan kelengkapan informasi. Apabila hal tersebut dapat dipenuhi, penyatuan dua hal tersebut akan jauh lebih mudah dalam pelaksanaan OJK.

Fuad Rahmany selaku ketua Tim Penyusun RUU OJK menyatakan OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Dia mencontohkan Bapepam-LK yang dia pimpin tidak hanya mengawasi tetapi jug membuat peraturan untuk perusahaan sekuritas atau efek. Hal ini berpotensi menimbulkan abuse of power sehingga pengaturan dan pengawasan harus dipisahkan. Meski OJK memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tinding, sebab OJK terdiri atas tujuh dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh BI akan dikurangi, namun BI masih mendampingi pengawasan. Kalau selama ini mikro dan makro prudensialnya di BI, nanti OJK akan fokus menangani mikro prudensialnya.

Mengacu pada kajian di sembilan negara, Fuad dan tim perumus OJK akan membuat sistem pengawasan dan pengaturan baru yang mengarah pada Unified Supervisory Model. Dengan sistem ini, fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan, asuransi, dan pasar modal menjadi satu. ”Fungsi moneter tetap ada di BI” pola seperti itu berlaku di Jerman dan Jepang.

Dalam pandangan Darmin Nasution inti pembentukan OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan. BI sepenuhnya mendukung pelaksanaan UU BI Pasal 34 tentang pembentukan OJK. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan yaitu konstruksi atau model OJK sebab setiap negara tidak memiliki desain atau konstruksi yang seragam. Sebenarnya dinegara manapun pengaturan dan pengawasan makro prudensial terletak di tangan bank sentral. Sebab, merekalah yang memiliki data serta instrumen yang paling efektif untuk membaca perkembangan sektor makro keuangan namun aspek mikro juga tetap harus diawasi oleh bank sentral. Terkait model atau konstruksi terbaik selama ini BI melihat Prancis dan Jepang. Di kedua negara tersebut bank sentral ikut mengawasi mikro kendati OJK sudah ada.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad menambahkan terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga. OJK juga bisa mengawasi mikro prudensial bersama bank sentral. Namun, BI pada dasarnya tetap menjadi lender of the last resort terutama ketika krisis likuiditas di perbankan. Sebab itu bank sentral tetap harus memiliki komunikasi yang baik untuk pengukuran situasi mikro.

Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengkhawatirkan pelemparan tanggung jawab antara OJK dan BI saat terjadi krisis. Namun Sigit optimis jika OJK diisi oleh sumber daya manusia yang kompeten, terutama dari Direktorat Pengawasan Bank BI. Terkait iuran atau premi (fee) OJK sebesar 0,02% - 0,05% Sigit menilai iuran yang berasal dari industri bisa membuat OJK lebih independen dari kebijakan pemerintah. Jika dana berasal dari APBN, independensi OJK akan sangat minim. Dia mengakui sejumlah bankir sempat menolak pembebanan iuran oleh OJK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar